KESENIAN KEKEBALAN TUBUH !!! DEBUS BANTEN YANG MENDUNIA

Kesenian debus berkaitan dengan budaya masyarakat agraris, khususnya yang berkaitan dengan upacara ritual panen padi. Jenis kesenian tersebut merupaka

ABSTRAKSI
Kesenian tradisional merupakan salah satu perwujudan jati diri bangsa Indonesia yang dapat memberikan gambaran kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu salah satu upaya untuk menunjukkan jati diri bangsa Indonesia adalah dengan melestarikan kesenian tradisional. Penelitian ini difokuskan pada kesenian debus di desa Cisungsang, kecamatan Cibeber, kabupaten Lebak, provinsi Banten.
Tinggalan budaya merupakan saksi sejarah perjalanan bangsa Indonesia mulai dari zaman ke zaman dengan berbagai kondisi perkembangan dunia. Salah satu prioritas dalam pembangunan nasional adalah pelestarian (perlindungan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengembangan) terhadap warisan budaya sebagai aset bangsa yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan ekonomi. Kesenian merupakan salah satu perwujudan jati diri bangsa Indonesia yang mempunyai ciri khas dari gambaran kehidupan masyarakat Indonesia dari berbagai etnik.
Penelitian ini menitikberatkan pada deskripsi eksistensi kesenian debus di desa Cisungsang kecamatan Cibeber kabupaten Lebak provinsi Banten. Bentuk kesenian ini dipilih dikarenakan eksistensinya sudah merambah ke daerah-daerah diluar Banten. Perlunya dukungan dari berbagai pihak baik yang berasal dari dalam maupun dari luar lingkup di mana kesenian itu hidup dan berkembang. Mengingat kesenian di Indonesia merupakan salah satu kekayaan dan aset bangsa yang memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain, maka sangat perlu untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi kesenian tersebut. Hal ini dikarenakan kesenian mempunyai andil besar dalam memperkokoh ketahanan budaya, serta dalam membentuk masyarakat yang berbudaya.


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Arga Wilis ialah organisasi mahasiswa yang dengan sederhana dan secara bersama-sama memahami kepencintaalaman, terlebih sederhanaya lagi untuk kepuasan individu anggotanya – devinisi ini merupakan devinisi umum yang selalu digunakan dan difahami secara umum oleh para wilisian. Hanya saja kepuasan personal itu diusahakan tiap – tiap individu anggotanya didapatkan secara komunal. Arga Wilis berdiri pada tanggal 02 Oktober 1991, yang dipelopori oleh tiga  orang mahasiswa, antara lain: Dodi Darmadi (Jur. Karawitan), Rahmat Herawan (Jur. Karawitan), dan Yan-yan (Jur. Teater).
Arga Wilis disahkan oleh Bapak . Prof. Drs Saini KM yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung, Yang sekarang berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.
Filosofi dari nama Arga Wilis itu sendiri ialah Arga (Hutan) yang melambangkan kehidupan yang alami dan Wilis (Hijau) yang melambangkan kesuburan. Jadi Arga Wilis mempunyai arti kesuburan (identik dengan kreativitas, inovativitas, dan produktivitas mahasiswa) dalam kehidupan yang alami (identik dengan lingkungan seni yang dekat alam).
“Seni berpetualang-Berpetualang Seni” Merupakan motto yang menjadi komitmen bersama sejak Arga Wilis berdiri. Nama Arga Wilis sendiri diberikan dari salah satu dosen STSI Bandung, yang merupakan salah satu dosen mendapat gelar sarjana Karawitan pertama Jawa Barat, adalah Bapak Atik Soepandi, S. Kar.(Alm)
Sejak berdiri sampai sekarang, Mapala Arga Wilis sudah memiliki delapan belas (18) angkatan dengan nama angkatan:
1.      Elang Kabut (1992)   
2.      Lembah Cadas (1993)
3.      Ibun Sari (1994)         
4.      Rumpun Akar (1996)             
5.      Cadas Nirwana (1997)           
6.      Elang Rawa (1998)    
7.      Sanga Marga(1999)    
8.      Tapak Lembah (2000)
9.      Parimba Swani (2002)
10.  Rimba Purnama Jiwa (2003)
11.  Bara Wani (2004)
12.  Tapak Lancah Purnama (2005)
13.  Lembah Bulan Sabit (2006)
14.  Lembah Jalak Permata (2007)
15.  Hawa Rimba (2008)   
16.  Akarwana (2009)
17.  Kabut Fajar (2010)
18.  Bayu Senja (2011)                                                     
Kegiatan Mapala Arga Wilis meliputi:
1.      Program Wajib, diantaranya Diklatsar, Mabim dan Pengembaraan
2.      Progam Insidental, yang merupakan program berdasarkan keputusan pengurus yang menjabat
Oleh sebab itu, untuk memenuhi kewajiban keanggotaan di Mapala Arga Wilis saya bermaksud melakukan penelitian Budaya dengan objek penelitian kesenian debus yang ada di desa Cisungsang kecamatan Cibeber kabupaten Lebak provinsi Banten. 
Banten adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia dan sekaligus nama suku bangsa yang terdapat di provinsi tersebut. Sebagian orang berpendapat bahwa orang Banten adalah orang Sunda juga, karena kebudayaan yang ditumbuhkembangkan oleh mereka pada umumnya sama dengan orang Sunda. Dalam kebahasaan misalnya, orang Banten menggunakan bahasa yang mereka sebut sebagai Sunda-Banten, yaitu bahasa yang menunjukkan beberapa perbedaan dibandingkan dengan bahasa Sunda yang lain, terutama dalam intonasinya.    
Lepas dari masalah kesamaan dan perbedaan kebudayaan yang ditumbuh kembangkan oleh orang Sunda dan orang Banten itu, yang jelas bahwa Banten adalah sebuah suku bangsa yang ada di Provinsi Banten. Sebagaimana masyarakat suku bangsa lainnya di Indonesia, orang Banten juga mempunyai berbagai jenis kesenian tradisional. Salah satu diantaranya yang kemudian menjadi lebel masyarakat Banten adalah debus. Artinya jika seseorang mendengar kata debus, maka yang terlintas dalam benaknya adalah Banten.

1.2  Batasan Masalah
Peranan kebijakan pemerintah dan kepedulian masyarakat sangat menentukan kelangsungan hidup sebuah bentuk kesenian tradisi untuk tetap hidup dan berkembang. Masing-masing komponen pemerintah, masyarakat, pewaris/ ahli waris, kaum agamawan, dan budayawan, mempunyai peranan sendiri-sendiri, namun saling terkait dalam upaya pelestarian suatu tinggalan budaya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana peranan masing-masing komponen yang mempengaruhi eksistensi kesenian debus itu sendiri. Sehingga perlu diketahui hal-hal sebagai berikut:
1.      Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi eksistensi sebuah kesenian debus?
2.      Sejauh mana masyarakat melihat kesenian debus sebagai bagian dari kehidupannya?

1.3  Maksud Penelitian
Maksud penelitian adalah untuk memenuhi kewajiban keanggotaan Mapala Arga Wilis, dengan poin pasal 20 anggota muda berkewajiban untuk Melaksanakan pengembaraan 2 (dua) gunung berketinggian diatas 3000 mdpl dan 1 (satu) gunung berketinggian 2500 mdpl, dan atau melakukan penelitian kesenian dan kebudayan.[1]

1.4  Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan eksistensi kesenian debus yang ada di desa Cisungsang kecamatan Cibeber kabupaten Lebak provinsi Banten. Penelitian ini diharapkan juga dapat memperkaya sumber pengetahuan masyarakat akademis khususnya dan masyarakat non akademis pada umumnya.

1.5  Teori Acuan
Sebagai teori acuan dalam penelitian, penulis menggunakan salah satu dari teori 7 unsur kebudayaan menurut koentjaraningrat[2], diantaranya :
1.      Sistem religi dan kepercayaan
2.      Bahasa
3.      Sistem mata pencaharian
4.      Sistem ilmu pengetahuan
5.      Kesenian
6.      Sistem perlengkapan dan teknologi
7.      Sistem organisasi dan kemasyarakatan

1.6  Kerangka Pemikiran
Kesenian dapat tumbuh dan berkembang karena dipengaruhi oleh masyarakat dan lingkungan di mana kesenian itu berada, misalnya kesenian debus. Kesenian debus hadir karena adanya budaya masyarakat Agraris dan kehidupan beragama yang dalam ini adalah agama islam. Hal tersebut tercermin dalam perkakas yang digunakan dalam pertunjukan Debus, yaitu golok serta do’a-do’a yang dipanjatkan oleh para pemain. Dalam upaya mendekati persoalan ini, teori-teori ekologi kebudayaan dapat dipergunakan untuk menjelaskan berbagai gejala yang menyertai keberadaan kesenian debus. Beberapa teori yang digunakan, antara lain: Clifford Geertz tentang fenomena masyarakat petani di Jawa (involusi pertanian), Robert Michael Dove dalam melihat sistem perladangan pada masyarakat Dayak, dan Roy Ellen dalam melihat sistem pertanian suku bangsa di Pulau Naolu (Maluku). Andrew Vada ketika meng-counter hipotesis Clifford Geertz tentang sistem pertanian di Jawa, sering dijadikan pijakan dalam menganalisis fenomena kebudayaan, seperti yang disampaikan oleh Marvin Haris dan Leslie White, yang semuanya berpijak pada Cybernetics Theory dari Talcot Parson.
            Di dalam Cybernatics Theory, Talcot Parson menciptakan empat kebutuhan fungsional manusia, yaitu: adaptation, goal attainment, integration, dan latern pattern maintenance (AGIL). Adaptation, yaitu individu harus dapat beradaptasi dengan dunia sosial sekelilingnya. Goal Attainment, yaitu individu memiliki prioritas tujuan dalam bermasyarakat. Integration, yaitu kelangsungan hidup ditentukan oleh bagaimana individu bermasyarakat. Sedangkan latent pattern maintenance, yaitu bagaimana individu bisa merawat hubungan sosial agar tetap terjaga, kemudian sistem sosial tersebut juga dengan teori cybernetics. (kumpulan artikel sosial, ekonomi, dan budaya, yoyokemo.blogspot.com).
Di dalam teori ekologi kebudayaan tidak dapat meninggalkan hal-hal yang berkenaan dengan ciri dari budaya masyarakatnya, yang berpengaruh pada pemahaman masyarakat terhadap kebudayaan (periperol). Di dalam beberapa hal, kesenian yang ada di Jawa selalu dihubungkan dengan keberadaan mitos-mitos, di mana di dalamnya terdapat relasi mitos yang menjadikan sebuah budaya ada. Seperti halnya terdapat mitos-mitos yang menyertai adanya permainan debus sebagai sebuah bentuk kesenian tradisional masyarakat agraris tersebut.
Budaya (sering juga disebut kebudayaan) adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1984: 9; dan 1986: 180). Didalam teori kebudayaan menurut koentjaraningrat terdapat 7 unsur yang melandasi adanya sebuah kebudayaan yang mana didalamnya terdapat tata kelakukan yang berfungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan, dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Berhubungan dengan hal itu, kesenian debus yang didalamnya terdapat pelaku seni dan penikmat seni berperan sebagai objek kajian yang terdapat dalam tujuh unsur kebudayaan menurut koentjaraningrat.

1.7  Metode Penelitian
Penelitian ini lebih ditekankan pada pendekatan kualitatif, karena pendekatan ini lebih mengandalkan kekuatan pengamatan pancaindera untuk merefleksi fenomena budaya. Menurut Suwardi Endraswara dikatakan bahwa (2003:16) :
“Pendekatan kualitatif adalah lebih kepada pertimbangan pancaindera secara akurat untuk melihat kebudayaan yang cenderung berubah-ubah seiring perubahan zaman. Bahwa tradisi kualitatif cenderung peneliti sebagai pengumpul data, mengikuti asumsi kultural, dan mengikuti data, dengan kata lain penelitian kualitatif budaya lebih fleksibel, tidak memberi harga mati, reflektif, dan imajinatif “.

Data primer diperoleh melalui dokumentasi foto dan gambar, kemudian data sekunder diperoleh dengan mencari informasi yang bersumber dari buku-buku, tulisan-tulisan, maupun dari para informan dan narasumber.
Data-data yang diperoleh dipergunakan untuk mendeskripsikan hasil penelitian ke dalam kehidupan masa sekarang, kaitannya dengan eksistensi kesenian tersebut.
Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam buku yang ditulis oleh Lexy J Moleong yang berjudul Metode Kualitatif, bahwa metode kualitatif didefinisikan sebagai pvrosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong Lexy J, 2004:14-18). Untuk menjelaskan penelitian ini secara detil dan komprehensif digunakan pendekatan Deskripsi kualitatif . Metode deskripsi kualitatif adalah prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan menggambarkan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain), berdasarkan faktor-faktor yang tampak atau sebagaimana adanya (Hadrawi Nawawi, 1983:63). Penelitian deskriptif ini tidak hanya mendiskripsikan sesuatu atau fenomena yang sedang diteliti, tetapi juga mancari makna apa dibalik hasil dari deskripsi tersebut. Metode penelitian yang digunakan untuk kegiatan penelitian ini meliputi:

1. Pra Survey
Pra survey dilaksanakan dengan mengumpulkan data-data kepustakaan dan mempelajari tulisan-tulisan yang berkaitan dengan obyek penelitian sebagai acuan dalam melakukan kegiatan studi. Acuan atau bahan-bahan yang diperlukan adalah yang berkaitan dengan fokus penelitian yaitu tentang kesenian debus di desa Cisungsang, kecamatan Cibeber, kabupaten Lebak, provinsi Banten.
2. Survey
Survey dilaksanakan untuk meninjau lokasi penelitian yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan dari penelitian. Kemudian melakukan koordinasi dengan instansi/pihak terkait di daerah yang menjadi lokasi penelitian, yaitu masyarakat yang terkait langsung dengan tujuan penelitian. Adapun lokasi penelitian ini dilakukan di desa Cisungsang, kecamatan Cibeber, kabupaten Lebak, provinsi Banten.
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan data-data di lapangan dengan cara observasi dan wawancara secara mendalam. Wawancara dilakukan untuk melengkapi data-data yang tidak mungkin diperoleh melalui metode observasi. Sasaran wawancara meliputi elemen-elemen masyarakat maupun individu masyarakat tertentu. Hal ini dikarenakan masing-masing elemen tersebut memiliki kepentingan dan peranan yang berbeda terhadap penelitian ini.Untuk mendokumentasikan hasil observasi, dilakukan pengambilan foto-foto.

1.8  Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak di antaranya masyarakat umum, insan akademis, dan lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan untuk dijadikan salah satu kajian yang dapat memberikan masukan serta pengetahuan.

1.9  Jadwal Penelitian
NO
KEGIATAN
TEMPAT
TANGGAL
1.
Pengajuan Proposal Penelitian
Sekertariat Mapala Arga Wilis
17 Desember 2010
2.
Kolokium
Sekertariat Mapala Arga Wilis
21 Desember 2010
3.


Pelaksanaan Penelitian
·         Study Pustaka (literature)

Perpustakaan STSI Bandung dan Internet

28 Desember 2010 – 4 Januari 2011
·         Survai  lokasi

Desa Cisungsang
5 Januari 2011
·         Observasi dan pengumpulan data Lapangan
Desa Cisungsang

20-24 Januari 2011
·         Penyusunan Laporan
Sekertariat Mapala Arga Wilis
27 Januari – Maret 2011
·         Sidang Penelitian
Sekertariat Mapala Arga Wilis
21 Maret 2011
·         Refisi Penulisan
Sekertariat Mapala Arga Wilis
22 Maret - 6 April 2011
4.
Penyerahan Laporan
Sekertariat Mapala Arga Wilis
6 April 2011




BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1.  Sekilas tentang Desa Cisungsang
2.1.1. Administratif
Kasepuhan Banten Kidul khususnya kasepuhan Cisungsang secara administratif masuk dalam wilayah desa Cisungsang, kecamatan Cibeber, kabupaten Lebak. Sampai tahun 2010, penduduk desa Cisungsang berjumlah 2.253 jiwa yang dikelompokkan ke dalam 627 Kepala Keluarga. Dengan mayoritas penduduk memeluk Islam, seluruh masyarakat Cisungsang dalam komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Sunda. Penggunaan bahasa, tempat tinggal dan adat istiadat umum yang masih dipelihara menempatkan mereka ke dalam kelompok suku Sunda. Sebagian besar penduduk berpendidikan tamatan SD dan SLTP, dengan mata pencaharian utama bertani sawah dan kebun.
Nama Cisungsang dibentuk dari dua kata: Ci dan Sungsang, secara harafiah kata Ci adalah bentuk singkat dari cai yang dalam bahasa Sunda berarti air. Sedangkan Sungsang, dalam bahasa Sunda berarti terbalik atau berlawanan dari keadaan yang sudah lazim. Maka istilah Cisungsang dapat  diartikan air yang mengalir kembali ke hulu (mengalir secara terbalik). Nama Masyarakat Adat Cisungsang pada awalnya berasal dari nama salah satu sungai yang mengalir dari Talaga Sangga Buana. Talaga ini mengalir ke 9 (sembilan) sungai yaitu Sungai Cimadur, Ciater, Cikidang, Cisono, Ciberang, Cikadu, Cicatih, Cisimeut, dan Cisungsang.

2.1.2. Topografi
Masyarakat Adat Cisungsang terletak di kaki Gunung Halimun, yang dikelilingi oleh 4 (Empat) desa adat lainnya yaitu desa Cicarucub, Bayah, Citorek, dan Cipta Gelar. Masyarakat Adat Cisungsang berkedudukan di kecamatan Cibeber kabupaten Lebak provinsi Banten. Wilayah Masyarakat Adat Cisungsang memiliki luas ± 2.800 km2 dengan jumlah penganut adat Cisungsang 11.000 jiwa dan ini tersebar di kota-kota di Indonesia.
2.1.3. Jalur Transportasi            
            Akses masuk ke Desa Cisungsang dapat ditempuh melalui jalan beraspal. Sebagian sudah menggunakan aspal hotmix, tetapi sebagian besar masih berupa jalan desa dengan pasangan batu-batu belah dan pasir yang disiram aspal. Dari pertigaan jalan antara Cikotok – Cibareno, Desa Cisungsang dapat ditempuh selama 10 menit, dengan menelusuri jalan di sepanjang pinggiran bukit dan jurang terjal. Untuk menuju ke Masyarakat Adat Cisungsang memerlukan waktu 5 jam dari kota Rangkasbitung Kab. Lebak dan dari Kota Serang - Ibu Kota Provinsi Banten dengan jarak tempuh ± 200 Km. Kondisi jalan menuju Masyarakat Adat Cisungsang cukup baik dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat.

2.1.4. Kebudayaan Masyarakat Cisungsang
            Bahasa daerah yang digunakan Masyarakat Adat Cisungsang yaitu    Bahasa Sunda. Sistem pemerintahan yang mereka anut terdapat 3 sistem, yaitu : sistem pemerintahan negara, sistem kasepuhan/hukum adat, dan sistem agama /hukum Islam. Masyarakat Adat Cisungsang terdiri dari 11 (sebelas) Rukun Tetangga (RT) dan 9 (sembilan) Rukun Kampung (RK) yaitu terdiri dari Kampung Cipayung, Lembur Gede, Pasir Kapundang, Babakan, Sela Kopi, Pasir Pilar, Gunung Bongkok, Suka Mulya, dan dipimpin oleh seorang Kepala Adat, yang penunjukannya melalui proses wangsit dari karuhun, yaitu Abah Usep yang sekarang berusia 38 tahun, dimana beliau mulai memegang tampuk pimpinan pada usia 19 tahun. Abah Usep ini selain menjadi kepala adat beliau mempunyai keahlian di bidang supranatural yaitu bisa membaca pikiran orang, dalam menjalankan pemerintahannya Abah Usep dibantu oleh 87 Rendangan artinya orang yang ditunjuk secara turun temurun yang merupakan perwakilan dari kepala adat.  
            Mata pencaharian Warga Desa Cisungsang sebagian besar bertani dan berdagang, namun setelah dipimpin oleh Abah Usep, anak muda Desa Ciungsang sebagian besar menjadi pekerja buruh ke kota-kota terutama ke Jakarta dan Sukabumi.
Peralatan Hidup dan Teknologi Masyarakat Adat Cisungsang sudah mengenal teknologi ditandai dengan adanya penerangan listrik, bentuk rumah yang sudah mengikuti perkembangan, bertani sudah menggunakan alat-alat yang modern dan media elektronik sudah ada seperti TV, Radio, Tape Recorder, Telephon dan Satelit. Tetapi bentuk rumah yang sebenarnya adalah rumah kayu berbentuk panggung dan untuk memasak masih menggunakan tungku (hawu) dan diatasnya terdapat tempat untuk menyimpan alat-alat dapur disebut Paraseuneu.
Religi / Kepercayaan Masyarakat Adat Cisungsang menganut Agama Islam dan Hukum Adat, dalam perkembangan kehidupan sehari hari mereka juga menggunakan Syariat Islam salah satu contoh mereka biasa melakukan shalat. Namun sebagian besar lebih percaya atau lebih meyakini pada hukum adat. Mereka lebih percaya dengan adanya wangsit dari karuhun melalui Kepala Adat (Abah Usep).
Masyarakat Adat Cisungsang rata-rata berpendidikan sampai SD dan SMP tapi ada juga beberapa yang sudah sarjana.
Masyarakat Adat Cisungsang sangat mengagungkan Padi (npare)/ Sripohaci/ Dewi Sri, dengan keyakinan bahwa padi ini sebagai sumber kehidupan mereka maka masyarakat ini selalu mengadakan upacara-upacara/ritual-ritual untuk mengagungkan padi diantaranya dari menanam padi sampai menyimpan padi harus mengadakan selamatan yang disebut dengan Ngamumule Pare (memelihara padi).



BAB III
EKSISTENSI KESENIAN DEBUS
3.1 Hakekat Debus
Permainan debus merupakan bentuk kesenian yang dikombinasikan dengan seni tari, seni suara dan seni kebatinan yang bernuansa magis. Kesenian debus biasanya dipertunjukkan sebagai pelengkap upacara adat, atau untuk hiburan masyarakat. Pertunjukan ini dimulai dengan pembukaan (gembung), yaitu pembacaan sholawat atau lantunan puji-pujian kepada Nabi Muhammad, dzikir kepada Allah, diiringi instrumen tabuh selama tiga puluh menit. Acara selanjutnya adalah beluk, yaitu lantunan nyanyian dzikir dengan suara keras, melengking, bersahut-sahutan dengan iringan tetabuhan. Bersamaan dengan beluk, atraksi kekebalan tubuh didemonstrasikan sesuai dengan keinginan pemainnya : menusuk perut dengan gada, tombak atau senjata almadad tanpa luka; mengiris anggota tubuh dengan pisau atau golok; makan api; memasukkan jarum kawat ke dalam lidah, kulit pipi dan anggota tubuh lainnya sampai tebus tanpa mengeluarkan darah; mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tapi dapat disembuhkan seketika itu juga hanya dengan mengusapnya; menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang dikenakan hancur lumat namun kulitnya tetap utuh. Selain itu, juga ada atraksi menggoreng kerupuk atau telur di atas kepala, membakar tubuh dengan api, menaiki atau menduduki tangga yang disusun dari golok yang sangat tajam, serta bergulingan di atas tumpukan kaca atau beling. Atraksi diakhiri dengan gemrung, yaitu permainan alat-alat musik tetabuhan.

3.2 Sejarah Kesenian Debus
Debus merupakan kesenian asli masyarakat Banten yang diciptakan pada abad ke-16, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570), dalam rangka penyebaran agama Islam. Agama Islam diperkenalkan ke Banten oleh Sunan Gunung Jati, salah satu pendiri Kesultanan Cirebon, pada tahun 1520, dalam ekspedisi damainya bersamaan dengan penaklukan Sunda Kelapa. Kemudian, ketika kekuasaan Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), debus difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajah Belanda.[3] Apalagi, di masa pemerintahannya tengah terjadi ketegangan dengan kaum pendatang dari Eropa, terutama para pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC. Kedatangan kaum kolonialis ini di satu sisi membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata, yaitu terjadinya percampuran akidah dengan tradisi pra-Islam. Hal ini yang terdapat pada kesenian debus.
Debus atau Almadad diajarkan oleh seorang ulama yang banyak mengguankan ilmu Hikayat (ilmu Tarekat Qodariah), ada persamaan Debus di daerah Banten dengan debus yang tumbuh di daerah Aceh dengan sebutan Deboah. Kemunginan besar asal kata debus juga dari kata Deboah. Syech Almadad dari Aceh banyak mengajarkan ilmu Hikayat (tarekat) sehingga ilmu ini banyak tersebar di daerah Banten.  Pada abad ke 16 – 17 M. Debus berkembang dikalangan laskar Banten. Kadang – kadang Sultan Abul Fathi Abdul Satah turut memimpin debus di kalangan prajurit Banten. Mereka dipimpin oleh beliau melakukan perang-perangan dengan menggunakan alat yang tajam dan runcing, seperti tombak dan pedang, dengan keyakinan yang kuat mereka percaya tidak ada suatu benda tajam apapun yang dapat melukai kulitnya kalau tidak dikehendaki oleh Allah SWT, kemudian permainan ini teresap pada masyarakat sehingga terciptanya kesenian debus samapai sekarang.
3.4  Nilai Budaya
            Permainan Debus yang dilakukan oleh masyarakat banten, jika dicermati secara mendalam didalamnya terkandung nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan  dalam kehidupan bersama. Nilai itu adalah nilai religius.
            Nilai religius tercermin dalam do’a yang dipanjatkan oleh para pemain. Do’a tersebut bertujuan agar para pemain selalu di lindungi dan selalu mendapatkan keselamatan dari Allah SWT selama menyelenggarakan permainan Debus.


3.5 Perbandingan Manfaat dan Pandangan Debus dari Zaman ke Zaman
            Dilihat dari sejarahnya, pada zaman penjajahan Belanda debus digunakan sebagai alat untuk melawan para penjajah, khususnya di wilayah Banten. Pada era globalisasi ini kesenian debus banyak digunakan sebagai pelengkap hiburan pada acara seren taun. Artinya, ada suatu perubahan fungsi dari kesenian debus sesuai dengan perkembangan zaman.
            Sejarah lain mengatakan bahwa kesenian debus muncul karena adanya keinginan Nyi Pohaci (dewi Sri) untuk di “Reremokeun” atau di pesta kan oleh kesenian yang sederhana. Berikut ini kutipan dari Apih Adeng sebagai narasumber:
Pedah Nyi Pohaci hayang di reremokeun ku kasenian anu teu nyusahkeun, nyaeta anu dijieuna tina awi. Nu ka hiji, hayang di tanggeuy ku rengkong, ka dua hayang digiring ku angklung, tilu hayang di pirig ku suling, opat hayang di rame-rame ku calung, ka lima ku celempung, oge teu kaliwat haying dipapag ku kasenian Debus”

            Kutipan di atas merupakan mitos yang ada di desa Cisungsang, sehingga semua kesenian itu merupakan satu paket pertunjukan yang selalu ditampilkan pada saat seren taun desa Cisungsang.
            Dari itu semua, pada zaman sekarang banyak orang yang berasumsi bahwa orang yang bermain debus identik dengan hal-hal gaib ketika orang itu melihat dengan kacamata fisik (luar). Tapi ketika kita lihat pada kacamata sejarahnya, seperti yang tertulis pada pembahasan sebelumnya, pemain debus memanjatkan do’a-do’a kepada Tuhan dan melakukan puasa serta proses-proses lainnya yang memang tidak ada hubungannya dengan ilmu hitam (black magic).

3.6  Kesenian Debus menembus zaman
Kesenian debus berkaitan dengan budaya masyarakat agraris, khususnya yang berkaitan dengan upacara ritual panen padi. Jenis kesenian tersebut merupakan jenis kesenian tradisional yang eksistensinya sangat baik di daerahnya, bahkan bukan hanya di habitat kesenian itu senidiri, sekarang sudah merambah ke daerah-daerah luar Banten, yaitu di daerah Jawa Barat.
Edward Shils dalam bukunya Tradition (1981) yang ditulis dalam makalah Nunus Supardi yang berjudul “Pendekatan Dalam Memprakirakan Potensi Sumber Daya Manusia (SDM) Kesenian Tradisional”, mengatakan bahwa:
“Sekurang-kurangnya tiga generasi dalam penerusan atas sesuatu hal, untuk kemudian dapat digolongkan hal tersebut sebagai tradisi. Sesuatu akan disebut tradisi bila dianggap oleh masyarakatnya memberikan manfaat yang masih relevan dengan kemajuan zamannya. Hal ini karena tradisi memiliki daya ikat yang kadang-kadang sangat hebat, sehingga yang terlibat di dalamnya menganggap sesuatu itu pantas untuk diteruskan dan kemudian mengikatkan diri dengannya”. (2000:1-2).

            Kesenian tradisional juga sebagai kesenian di mana di dalamnya kita dapat memahami berbagai ajaran yang terkandung di dalamnya, seperti hubungan antar individu dalam kelompoknya, hubungan manusia dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Begitu pula dalam kesenian debus, di mana dalam kesenian tersebut adanya makna dan gambaran tentang kehidupan budaya masyarakat agraris. Kesenian tersebut masih ada oleh karena adanya sebuah kepercayaan masyarakat serta kaitannya dengan kepentingan individual dalam arti kepuasan pribadi. Kesenian debus di Kecamatan Cibeber kondisinya masih tetap eksis. Hal ini terjadi karena pelaku seni untuk kesenian ini makin banyak. Bukan hanya dikalangan orang tua, tapi juga di kalangan anak muda. Disamping itu juga kesenian debus merupakan inisiatif masyarakatnya untuk terus melestarikan dan terus mempertunjukan kesenian debus bukan hanya pada acara seren taun (panen padi) saja, tetapi juga pada acara-acara biasa, seperti arak-arakan khitanan masal, memperingati hari kemerdekaan nasional, dan acara-acara yang sifatnya insidensial.
Endang Caturwati dalam bukunya yang berjudul Seni Dalam Dilema Industri, mengatakan bahwa:
 “Perkembangan suatu budaya, tentu sedikit atau banyak dipengaruhi oleh masyarakat pendukungnya yang merupakan suatu proses. Dalam arti bahwa ia merupakan suatu gejala perubahan, gejala penyesuaian diri, serta gejala pembentukan yang semuanya disebut sebagai proses sosialisasi. Proses sosialisasi ini terjadi melalui adanya interaksi sosial yang pembentukannya ditentukan oleh beberapa faktor antara lain adalah:
1. waktu dan zaman;
2. sebab dan tujuan;
3. kebutuhan;
4. harapan;
5. keyakinan;
6. paksaan, dan lain sebagainya.” (Caturwati Endang:2004:4).  
           
            Perkembangan kesenian debus dari waktu ke waktu memang eksistensinya sangatlah baik, yang awalnya bila dilihat dari sejarah kesenian ini merupakan ilmu kebatinan yang digunakan sebagai tameng untuk perang dalam upaya penyebaran agama islam. Namun setelah berkembangnya zaman hingga kini kesenian debus tetap ada dan terus berkembang, tentunya hal tersebut dipengaruhi oleh sebab dan tujuan dari pelaku kesenian debus itu sendiri. Beberapa sebab yang dapat ditangkap oleh penulis dari berbagai referensi diantaranya, kesenian debus berkembang karena dalam segi fungsi sudah banyak berubah, dari yang awalnya sebagai tameng perang kini berganti sebagai seni pertunjukan. Hingga dalam bentuk pertunjukannya pun banyak elemen-elemen lainnya yang mendukung menariknya kesenian tersebut. Misalnya terdapat tari-tarian, dibarengi angklung, dog-dog lojor, dsb sehingga membuat pertunjukan ini lebih meriah. Selain itu juga, kebutuhan, harapan, keyakinan, serta pakasaan akan pentingnya kesenian debus dari para pelaku seninya dan habitat dimana kesenian itu berada sangatlah berperan, dalam hal ini mislanya pada acara seren taun desa Cisungsang. Dalam satu paket pertunjukannya harus lah terdapat kesenian debus. Karena itu sudah menjadi kewajiban dari kepala adat desa Cisungsang (Abah Usep) harus mempertunjukan kesenian debus yang mana sebagai icon dari daerah Banten.
Pada kesenian debus, banyaknya dukungan masyarakat disebabkan oleh kenyataan bahwa eksistensi kesenian debus hingga saat ini banyak diminati, khususnya oleh kalangan pemuda. Fungsi vital debus sudah bergeser, yang dahulu sebagai rutinitas hiburan saat panen padi sedangkan saat ini sebagai permainan yang dilakukan oleh generasi muda sebagai ajang mempertunjukan. Di dalam kehidupan kesenian tradisional dalam perjalanannya dipengaruhi oleh beberapa elemen masyarakat, yaitu:
1. Seniman atau pelaku seni;
2. Pembina atau pengelola seni;
3. Masyarakat penikmat seni;
            Dari berbagai keterangan-keterangan yang didapat, penulis dapat menyimpulkan bahwa kesenian debus berkembang dengan baik, karena adanya kerjasama dari masing-masing elemen tersebut. Seniman atau pelaku seni adalah seseorang yang selalu melakukan dan menjaga eksistensi kesenian. Apabila seseorang menjadi pelaku seni maka kesenian itu akan tetap ada dan hidup apabila mendapat dukungan dari Pembina seni. Dalam hal ini peran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sangat dibutuhkan sebagai Pembina dan pengelola seni. Persoalannya apabila kedua elemen tersebut tidak ada dukungan dari masyarakat penikmat seninya, maka lambat laun kesenian tradisional itu dalam hal ini kesenian debus akan punah karena tidak ada masyarakat penikmat seni tersebut. Pengelola seni atau Pembina seni sangat berperan dalam perkembangan kesenian ini. Dengan adanya pengelola atau Pembina maka potensi-potensi yang ada dapat terus dijaga dan dikembangkan, sehingga tetap hidup dan eksis. Pengelolaan yang baik dan dukungan sarana yang memadai dapat menunjang kehidupan dan perkembangan kesenian tersebut.




BAB IV
KESIMPULAN
Hasil penelitian membuktikan bahwa kesenian debus dikategorikan salah satu kesenian yang mempunyai tingkat eksistensi cukup baik. Kesenian ini berkaitan dengan budaya bertanam padi. Suatu hal yang lazim terdapat pada Negara agraris seperti Negara Indonesia. Hal itu terbukti dari perkakas yang digunanakan pada kesenian debus. Selain itu dilihat dari sudut pandang pertunjukannya, ada beberapa alat kesenian yang terbuat dari bamboo seperti rengkong, angklung, suling, calung dan celempung. Hal itu membuktikan bahwa kesenian debus tumbuh dan berkembang didaerah agraris.
Dilihat dari sudut pandang sejarahnya, kesenian ini tumbuh pada saat penyebaran agama islam di banten. Saat itu masyarakat banten masih memegang kepercayaan sunda wiwitan. Artinya mereka belum memeluk agama islam. Setelah masuknya ajaran islam di Banten pada saat pemerintahan Sultan Hasanudin, kesenian debus dijadikan sebagai tameng untuk memperluas ajaran Islam.
Relalita yang terjadi sekarang, khususnya daerah Banten selatan banyaknya yang meminati kesenian ini dikalangan pemuda. Banyak para pemuda yang ingin mempelajari kesenian ini. Berdasarkan hasil survai lapangan penulis, memang kesenian ini bisa di pelajari, tentunya dengan beberapa syariat yang harus di jalani. Seperti menghafal mantra-mantra atau lapaz-lapaz Al-qur’an yang di berikan oleh sesepuh disana. Selain itu juga harus mandi malam dan berpuasa.
Anggapan-anggapan tentang ilmu hitam (black magic) pada kesenian ini tidak benar, karena memang seperti yang telah di jelaskan diatas sesepuh disana menggunakan lapaz-lapaz dari al-qur’an. Karena tanpa seizin yang maha kuasa ilmu kebatinan itu tidak mungkin dapat dikuasai.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Saepul                        Proposal penelitian Musik Keroncong, Arga Wilis STSI Bandung, Bandung: 2010
Caturwati Endang                  Seni Dalam Dilema Industri. Yayasan Aksara Indonesia. Yogyakarta:2004
Koentjaraningrat                     Sejarah Teori Antropologi,UI-Press, Jakarta:2007
Muder, Niels                          Mistisme Jawa-Ideologi di Indonesia. LKIS Yogyakarta. Yogyakarta: 2001
Suwardi, Endraswara             Metode Penelitian Kebudayaan, Gadjah Mada University Press.Yogyakarta: 2003.

TATIBDAS MAPALA Arga Wilis
                                                                                                          


DAFTAR NARASUMBER
1.      Apih Adeng Jaya Sasmita (sesepuh dan pelaku seni)
2.      Bpk. Deden (pelaku seni)
3.      Masyarakat setempat
4.      Kelapa desa Cisungsang, kecamatan Cibebeber, kabupaten Lebak, provinsi Banten



LihatTutupKomentar